Tradisi menjaga kelestarian hutan oleh masyarakat pedalaman (adat) masih bisa terjamin dengan cara-cara tradisional, karena keteguhannya memegang aturan agama dan adat. Dalam hal pelestarian keanekaragaman hayati hutan, masyarakat pedalaman Aceh yang hidup di pinggiran hutan (seperti masyarakat pedalaman di Indonesia lainnya), menjaga hutan secara tertib dalam keseharian mereka.
Di antaranya menggunakan kayu secukupnya untuk kebutuhan sehari-hari, menanam padi dengan menggunakan pupuk alamiah (organik dan kompos). Menyemai benih pohon hutan yang bermanfaat hingga puluhan tahun untuk anak cucu. Seperti durian, rambutan, manggis dengan tetap menjaga keseimbangan alam sekitar. Masyarakat adat menjaga hutan karena adanya perlindungan terhadap sumber mata air bagi kehidupan manusia, satwa liar, dan tumbuhan hutan.
Seiring berjalannya waktu, kondisi hutan lindung dan hutan konservasi di Aceh pun mulai terusik dengan hadirnya raungan mesin gergaji HPH, eksplorasi tambang yang tidak ada perhitungan matang, dan ekplorasi material galian C yang asal keruk.
Pembabatan hutan terhadap kayu-kayu berusia ratusan tahun terus berlangsung, tanpa jeda. Jenis kayu gaharu makin kerap dicari, untuk dijual ke luar daerah Aceh. Karena intinya bernilai tinggi. Juga eksplorasi batu gunung di kawasan wisata, yang merugikan masyarakat pinggiran hutan. Dan sangat memprihatinkan sebagian satwa yang dilindungi ikut menjadi korban, diburu dengan memanfaatkan jasa pemburu lokal yang dibayar tinggi oleh penadah luar Aceh.
Kelompok satwa yang menjadi sasaran terutama jenis harimau (Panthera tigris sumatrae) untuk diambil kulit dan tulangnya. Dan gajah (Elephas maximus sumattranus) yang diambil gadingnya, lalu dijual keluar Aceh. Jenis trenggiling (Manis javanicus) hampir punah karena banyak dikonsumsi dan digunakan sebagai pengobatan tradisional, seiring meningkatnya perburuan dan perdagangan atas permintaan pasar.
Saat ini di Indonesia ada dua jenis harimau yang telah punah yaitu harimau jawa (Panthera tigris sondaica), diperkirakan punah pada tahun 1972. Dimana jenis ini dulu sering terlihat di kawasan hutan basah Pulau Jawa. Juga harimau bali (Panthera tigris balica) diperkirakan punah tahun 1937. Harimau itu ditemui berkeliaran di hutan hujan kepulauan tersebut.
Hutan Berubah Fungsi
Kawasan hutan dan perairan Aceh cukup luas. Dari sumber informasi data kehutanan NAD, Pusat Inventaris dan Statistik Kehutanan, Badan Planologi Kehutanan, Departemen Kehutanan Republik Indonesia, 2004, luas hutan di Aceh mencapai 3.549.831 hektar atau tiga persen dari luas kawasan hutan dan perairan Indonesia 109.961.731.28 hektar. Terdiri dari kawasan hutan konservasi 1.066.733 ha kawasan hutan lindung 1.844.500 ha , kawasan hutan produksi 638.580 ha.
Sayang ijin HPH diberikan sesuka hati di Aceh. Akibatnya perambahan dan pembalakan hutan skala besar terjadi hingga menurunkan jumlah pepohonan dan kualitas hutan dalam menjaga ekosistem yang sudah ada.
Dalam Buletin Ulu Masen (4-01-08), kondisi hutan Aceh masih salah satu yang terbaik di Indonesia. Aceh masih memiliki hutan tropis seluas 3,25 juta hektar yang diperkirakan memiliki kandungan karbon sebesar 415 juta ton secara tidak langsung. Perdagangan karbon adalah bonus besar dalam menjaga kelestarian hutan. Namun ada atau tidak konpensasi perdagangan itu, kita harus tetap melindungi hutan.
Iklim mulai berubah tidak menentu. Pemanasan suhu bumi meningkat, es di kutub mencair, air laut pasang, ditambah lagi dengan efek rumah kaca, terutama gedung-gedung pencakar langit di kota-kota besar di dunia. Pabrik-pabrik raksasa juga ikut andil mencemari air tanah dan udara.
Pohon-pohon kayu di kawasan hutan digergaji hingga rebah ke tanah tanpa tebang pilih, bahkan tidak ada penghijauan kembali. Tanah mulai tidak ada pegangan dalam menampung air hujan, akar pohon sudah membusuk tidak ada pengganti pohon baru. Jika raung gergaji tanpa henti.
Penggalian bahan galian C jalan terus, pasti bencana mulai datang menghampiri, seperti banjir bandang. Air sungai meluap di ambang batas, tanah longsor, berakibat kebun dan ladang terbenam kesungai.
Gerombolan gajah sumatera turun gunung, merusak kebun di desa-desa, baik di kawasan timur, utara, maupun kawasan barat selatan Aceh. Harimau sumatera mencari mangsa manusia dan ternak ke desa-desa, seperti yang terjadi di Sampoiniet Aceh Jaya, dan di Kabupaten Aceh Barat dan Aceh Selatan.
Keanekaragaman hayati jelas terusik, rantai makanan terputus. Rusa (cervus) diburu untuk dikomsumsi dagingnya, burung – burung primata dan reptil juga beruang madu (Helarctos malayanus) kehilangan rumah mereka. Juga jenis satwa endemik lainnya mulai ngacir dari hutan yang sudah terbakar, berubah jadi arang. Menjadi ladang perkebunan kelapa sawit yang mematikan sumber air, serta adanya ladang-ladang berpindah.
Hutan jadi padang gersang dan tandus, tidak ada generasi pengganti pohon muda yang merimbunkan kembali hutan. Bencana ekologi terjadi, yang tersisa hanya penyesalan. Pengundang malapetaka bencana lari dari tanggung jawab, tanpa memberi ganti rugi memadai kepada masyarakat pinggiran hutan, dan rakyat umum lainnya. Dari sekian bencana yang paling menderita adalah kaum perempuan dan anak-anak.
Semua ini salah sebagian manusia yang hanya memikirkan keuntungan semata, dan tak acuh akan akibat ke depan jika hutan dirambah, yang berakibat matinya unsur ekologi, keanekaragaman hayati, dan ekosistem hutan.
Biasanya yang merambah hutan, pembuka ladang, dan lahan tambang adalah para pendatang dari luar satu kawasan hutan atau pedesaan yang memanfaatkan jasa segelintir orang lokal yang awam akan efek ke depan, seperti yang pernah kita lihat di kawasan hutan krueng teunom, adanya orang luar Aceh yang mengambil sumber daya alam (kayu gaharu) dan berburu burung merak sumatera.
Para pendatang terkadang melupakan keberadaan masyarakat lokal yang berhak mengatur kawasan mereka. Di Aceh sering terjadi masyarakat hanya bisa berdiri di tempat tanpa bisa berbuat banyak mengelola sumber daya alam mereka. Seperti istilah buaya sungai hanya berdiri terpinggiri buaya masuk menuai rezeki (buya krueng teudong dong buya tamong meuraseuki). Perampasan sumber daya alam masih saja terjadi dengan mengenyampingkan nilai-nilai lokal, adat dan budaya.
Keanekaragaman hayati sebagai amanah dari Allah SWT akan dapat dan dilestarikan demi anak cucu, selama hutan tidak dirubah fungsinya sebagai penyerap karbondioksida. Menstabilkan suhu dan penyedia air sebagai sumber kehidupan, maka hutan akan sangat bermanfaat sebagai paru-paru dunia, serta mensejahterakan manusia dan lingkungan hidup sekitarnya.
Jeda Tebang
Pada tanggal 6 Juni 2007 Gubernur Aceh telah mendeklarasikan moratorium logging (penghentian penebangan kayu) dalam kontek penghentian penebangan seluruh hutan Aceh, dengan maksud menata kembali hutan aceh menuju hutan lestari, dan rakyat Aceh sejahtera.
Semua rakyat Aceh ikut mendukung, walaupun hingga saat ini penebangan masih terjadi di hutan Aceh dalam skala menengah dan kecil, dibandingkan sewaktu masih maraknya HPH. Hal ini terjadi karena tidak adanya pemberdayaan secara merata dan berkelanjutan kepada masyarakat di kawasan ekosistem hutan. Baik itu kawasan ekosistem Leuser, ekosistem Seulawah, ekosistem Burni Telong dan ekosistem Ulu Masen.
Jika kita masih ingat petikan dialog dalam sebuah film dokumenter dengan judul Legal Logging oleh Komunitas Masyarakat Sarah Raya, dalam proses penebangan kayu dikawasan hutan Sarah Raya.
Desa ini berada paling ujung di kawasan pinggiran hutan Teunom yang dilintasi aliran sungai Teunom Aceh Jaya. Seorang buruh penebang kayu mengatakan dalam bahasa aceh "menyoe lagenyoe buet, glap masa depan aneuk". Maksudnya kalau begini terus bekerja membelah kayu, akan suram masa depan anak.
Sebenarnya mereka ingin berubah dari keadaan yang begitu berat dijalani. Namun terpaksa bekerja di sektor ini, karena tidak ada pekerjaan lain yang bisa dilakukan.
Kenapa legal logging? Karena mereka menganggap sah kerja mereka membelah kayu, yang hanya bisa menutupi kebutuhan perut mereka untuk satu atau dua hari saja. Belum tentu keesokan harinya bisa makan. Kalau HPH atau perambah pembalakan liar yang dibayar para cukong kayu, bukan hanya untuk isi perut, namun untuk nafsu serakah mereka membabat habis hutan, tanpa tebang pilih. Ini jelas illegal logging (pembalakan liar) yang mengundang bencana.
Polisi hutan sudah bekerja di lapangan namun belum maksimal, entah mengapa? Mungkin yang direkrut, sebagian bukan polisi hutan (Jagawana) yang berasal dari masyarakat lokal, dan hidup berdampingan langsung dengan kawasan rimba di komunitas mereka serta lebih paham kondisi hutan secara langsung. Lalu bagaimana jika orang kota yang direkrut menjadi polisi hutan, yang butuh adaptasi berbulan-bulan, dalam memahami nilai-nilai lokal suatu kawasan?
Semoga jeda tebang yang sudah berumur satu tahun di Aceh terus berjalan seiring perdamaian yang semakin membaik, semoga fungsi hutan dapat kembali seperti sediakala. Dan kini malapetaka dimana-mana, namun ini cobaan bagi kita selaku hamba-Nya yang masih bergelimang dosa, jauh dari pintu taubat.
Agar kita selamat dari semua cobaan, mari bersama menjaga kelestarian alam sebagai amanah Allah SWT. agar ada keseimbangan hidup antara manusia dengan alam sekitarnya. Wallahu A'lam Bisshawab.
0 komentar:
Posting Komentar