Rabu, 08 Juli 2009

Hutan sebagai Museum Hidup, Warisan Bagi Anak Cucu

Pada tahun 1966 kawasan Dusun Duren, Desa Beji, Kabupaten Gunung Kidul, Daerah Istimewa Yogyakarta telah gersang. Sering terjadi bencana kekeringan dan erosi. Karena keprihatinannya, Sudiyo, Ketua Masyarakat Adat Hutan Wonosadi berniat menghijaukan kembali hutan yang gundul di kawasan itu. Bersama masyarakat adat dan dukungan pemerintah daerah setempat, Sudiyo melakukan beragam upaya unik dalam melestarikan keanekaragaman hayati.

Awalnya Sudiyo mengalami kesulitan dalam menyadarkan masyarakat setempat untuk melestarikan hutan. Namun dengan pendekatan secara tradisional, akhirnya Sudiyo berhasil menyadarkan masyarakat untuk berperan serta.

Merekapun bersama melakukan pelestarian hutan dengan swadaya sendiri. Mereka melakukan pembibitan dan penanaman sendiri. Sebagai masyarakat yang berpegang pada adapt, merekapun melakukannya dengan kearifan tradisional dan pelestarian seni budaya lokal, seperti sadram pasca panen dan seni musik tradisional Rinding Gumbeng, karawitan, ketoprak dan wayang kulit. Sadram yaitu upacara adat untuk memberi penghargaan kepada nenek moyang yang telah merawat dan menjaga hutan di waktu lampau sehingga dapat memberi sumber kehidupan bagi masyarakat sekarang.

Sekitar 1970, upaya swadaya Sudiyo bersama masyarakat setempat berhasil menghijaukan hutan kembali. Akhirnya hutan tersebut menjadi percontohan bagi penghijauan kembali kawasan sekitarnya. Merekapun membentuk Bala Dewi (Badan Pengelola Desa Wisata) yang mengelola hutan Wonosadi sebagai hutan wisata.

Dengan lebatnya hutan, maka munculah 3 titik mata air yang tanpa henti mengairi ladang dan sawah warga.

“Sekarang daerah kami mempunyai air berlimpah, berbeda jauh dari dulu yang kekurangan air,” ungkap Sudiyo di Jakarta (26/5).

Air itu bisa untuk mengairi sawah tanaman padi seluas 50 hektar yang dapat panen 3 kali per tahun. Air juga bisa masuk ke rumah-rumah penduduk dengan swadaya sendiri dan memenuhi kebutuhan rumah tangga sebanyak 200 KK serta beberapa dusun sekitarnya.

Keteguhan Sudiyo bersama masyarakat adat setempat dalam memelihara dan menyelamatkan hutan adat Wonosadi selama hampir 44 tahun, juga membuktikan peran besarnya dalam menjaga habitat flora fauna yang sudah langka seperti 200 lebih tanaman jenis kayu-kayuan, perdu, rerumputan, tanaman obat, anggrek lokal, aneka jenis burung, tercegahnya erosi.

Keberhasilannya bersama warga dalam menghijaukan hutan kembali tak lepas dari ketulusannya dalam menjaga kelestarian alam. Bagi Sudiyo, menjaga hutan berarti menjaga warisan dari nenek moyang yang akan diserahkan kepada anak cucu.

“Hutan ini bukan untuk kita tetapi untuk anak cucu kita, sehingga tidak boleh ditebang,” tegas Sudiyo.

Menurut Sudiyo, hutan Wonosadi terbagai dalam hutan inti seluas 25 hektar dan hutan penyangga 30 hektar. Hutan inti tidak boleh ditebang. Sedangkan hutan penyangga yang merupakan tanah milik masyarakat yang dihutankan dapat ditebang namun harus ditanami terlebih dulu.

Sejak penghutanan kembali hingga sekarang, menurutnya, masyarakat menyadari kalau hutan sangat penting. Hutan yang menyimpan kayu-kayu langka yang berfungsi sebagai museum hidup dan bermanfat bagi pendidikan dan penelitian.

Masyarakat yang sebagian besar bermata pencaharian petani ini benar-benar tidak merambah hutan kecuali hanya untuk keperluan obat-obatan. Taraf hidup merekapun meningkat. Penghasilan, pendidikan dan kesehatan mereka jauh lebih baik.

Dengan semboyan tekun (tidak putus asa), teken (berpegang pada aturan), tekan (sampai pada tujuan yang bermanfaat bagi masyarakat dan pemerintah), Sudiyo merasa biasa saja mendapat penghargaan Prakarsa Lestari Kehati Award pada 26 Mei lalu.

Baginya sudah menjadi tugas dan kewajiban untuk menyadarkan masyarakat. Menjaga alam seisinya, bagi pria berusia 73 tahun ini merupakan bagian dari perwujudan taqwa pada Tuhan Yang Maha Esa yang memberi hidup, cintanya pada ibu pertiwi, penghargaan pada orang tua dan bentuk kehati-hati dalam menjalani hidup.

Agar hutan Wonosadi terjaga secara optimal, Sudiyo mengusulkannya agar menjadi hutan adat pada Menteri Kehutanan dan diterima. Dengan menjadi hutan adat, masyarakat adat yang memegang teguh aturan tradisional tidak akan berani merusak hutan. Selanjutnya hutan adat Wonosadi juga akan menjadi Taman Keanekaragaman Hayati yang menyimpan bermacam keanekaragaman hayati lokal dan langka.

0 komentar:

 
PUMBAKALA site's © 2009 By. Ahmad